BILD SURABAYA-Pada Hari Kamis, 27 Mei 2010 Pukul 09:21:37WIB Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Jawa Timur bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang melakukan kajian isu aktual tentang model desa mandiri dalam menunjang kesejahteraan masyarakat. Kajian ini dilakukan di delapan kab/kota, yakni Pasuruan, Probolinggo, Kota Batu, Malang, Ngajuk, Mojokerto, Sumenep, dan Pamekasan.
Kepala Bidang Sumber Daya Alam dan Teknologi Balitbang Jatim, Ir Sunarto saat dikonfirmasi usai Seminar Kajian Desa Mandiri di kantornya, Kamis (27/5) menjelaskan, untuk model desa mandiri ini dilakukan dalam bentuk kajian, bukan penelitian. Sehingga, waktu yang dibutuhkan pun cukup singkat yakni selama tiga bulan. Dimulai sejak April hingga Mei dan Juni mendatang hanya tinggal melakukan revisi pasca diseminarkan.
Ia menuturkan, kajian ini adalah pengembangan dari program Gubernur Jatim, Dr H Soekarwo yang menargetkan pemberdayaan desa agar lebih mandiri, baik dari sektor energi, pangan, dan wisata. Namun, target dari kajian ini lebih difokuskan pada desa yang kurang potensial, seperti mengalami rawan pangan agar bisa dikembangkan menjadi desa mandiri.
Kajian ini juga memantau karakteristik, yakni apakah proses desa mendiri bagi desa yang sudah melakukan sudah betul. Jika tidak, maka akan dicarikan solusi untuk pengembangannya. Dari delapan kab/kota itu masing-masing diambil dua desa sebagai sampel kajian yang dipilih atas rekomendasi pemkab/kota dan camat di daerah yang bersangkutan.
Sebelum diseminarkan hari ini, pihaknya juga telah melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di Balai Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu pada 17 Mei lalu. FGD diikuti perwakilan dari empat kecamatan di Batu, 12 orang kades, dan SKPD terkait di Kota Batu.
Adapun beberapa masukan yang dihasilkan, antara lain terkait ketersediaan buah apel di semua desa seperti Tutur Pasuruan, Poncokusumo Malang, Bumiaji Batu cenderung mengalami penurunan produksi karena penyakit dan terjadi pembusukan. Sehingga dari hasil produksi 5 ton menjadi 2 ton per hektar per tahun. Bahkan di Poncokusumo, tanaman apel telh banyak diganti menjadi tebu. “Ini perlu dicarikan solusi, karena penurunan produksi apel yang menjadi ikon tiga daerah itu bisa menurunkan produktifitas dan perekonomian desa,” katanya.
Aspek wisata juga menjadi masukan dalam FGD, yakni pada proses sinkronisasi promosi desa wisata oleh Pemkab/kota dan Pemprov. Sehingga, dari potensi wisata di berbagai daerah bisa disinkronisasikan dalam bentuk paket wisata. Namun, untuk memaksimalkan pengelolaannya, maka diperlukan perda/perdes sehingga desa memiliki keleluasaan dalam mengelola potensi wisata, seperti menetapkan retribusi wisata.
Selain itu, diperlukan pula pembinaan dari pemda untuk merancang Desa Wisata dari berbagai aspek, sehingga desa yang bersangkutan mampu secara mandiri mengembangkan potensi wisata yang dimiliki. Misalnya, menyediakan home stay bagi wisatawan, cindera mata, dan budaya/seni khas daerah yang dapat diunggulkan tiap desa.(Ronny & Tia)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar