Selasa, 13 April 2010
Ibu dan Anak Perempuan
BILD- Pada Hari Senin,12 April 2010 Rupanya cukup banyak Ibu—entah disadari atau tidak— adalah pengkritik utama bagi anak perempuannya. Hal itu menyebabkan gadisnya sulit menumbuhkan rasa bangga dan cinta diri, meninggalkan lubang kekosongan besar yang tak dimengerti bagaimana cara mengisinya.
Pengritik utama
R, 26 thn, rutin menulis setiap gundah dan bertengkar dengan ibunya.
1. Hubungan aku dan mama masih bernuansa negatif. Aku terpancing tiap kali mama omong atau cerita, aku akan memberikan masukan pada mama. Lalu mama marah, ngamuk, dan langsung bilang aku jahat, kurang ajar, beragama tapi malah jadi jahat, tidak seperti waktu kecil dulu aku enggak pernah melawan atau memberontak.
2. Semakin sering berada dengan mama, aku selalu jadi sumber kemarahan mama dan bertengkar. Apakah lebih baik aku menjauh saja dari mama. Yang sering terpikir adalah keluar dari rumah, nge-kost. Hu-hu-hu... aku takut banget dengan perilaku mama, bisa marah habis-habisan sampai teriak-teriak memaki aku, lempar barang, lalu tidak lama kemudian, minta maaf dan menyalahkan dirinya sendiri. Yang terjadi, aku jadi ikut ikutan remuk, seperti habis dibejek-bejek lalu dibelai lagi, mana makna kasih yang harus aku ambil?”
Perempuan ”obyek”?
Beberapa perempuan muda lain bercerita mengenai ibu yang berkomentar buruk tentang tubuh, pakaian, make-up yang dipilihnya (”gendut amat, awas nanti jadi item, baju kayak gitu, dandan, dong”). Atau menilai gadisnya dari kelekatannya dengan laki-laki (”laki kayak gitu dibawa, kalau penampilan gitu gimana bisa laku, kapan pacaran, mama malu kamu belum nikah!”).
Yang lain dengan bercucuran air mata bilang ingin terjun saja dari bus karena ibunya tidak peduli dengan kesulitan hidupnya. Bahkan, tidak sedikit (yang ini dilakukan ayah-ibu mereka) yang dipaksa memeriksakan hymen-nya karena kedapatan sudah berhubungan seks dengan pacar (entah bernuansa kekerasan atau tidak). Lalu ayah-ibu ini mendesak dokter untuk melakukan operasi selaput dara (”saya tidak mau anak saya dikenal sudah ’rusak’”; ”malu pada calon besan nanti”). Padahal, operasi selaput dara justru jelas bentuk kebohongan.
Pasti para ibu yang membuat haru-biru gadisnya sangat menyayangi anaknya, tetapi kemungkinan besar terjerat dalam pandangan sangat stereotipik tentang perempuan. Tampaknya tema-tema utama yang tampil adalah memastikan anak dapat menjalankan stereotip peran perempuan sebagai ”obyek tatapan” dan ”obyek pemenuhan kebutuhan” laki-laki.
Harus cantik, langsing, disukai laki-laki, punya (calon) pasangan hidup yang oke, harus menarik secara seksual sekaligus wajib menjaga ”kesucian”. Bila ”keperawanan” hilang itu nyaris seperti kiamat, yang dipedulikan bukan bagaimana memberikan dukungan dan penguatan pada anak, tetapi malah makin menjatuhkannya dalam jurang.
Para ibu ini tidak menyadari betapa perilaku mereka sangat menghancurkan kepercayaan diri anak gadisnya. Manusia, perempuan dan laki-laki perlu dihargai dengan martabat kemanusiaannya seutuh-utuhnya, bukan direduksi sekadar pada tubuh, apalagi sekadar ”barang dagangan” yang laku atau tidak laku, rusak atau masih ”baru”. Mungkin masih tidak terlalu menyakitkan bila stigma diberikan oleh masyarakat luar, tetapi bila oleh orangtua sendiri—yang idealnya menjadi sumber dukungan emosional terbesar anak—lukanya terbawa mungkin hingga usia tua.
Ibu yang ”luka”
Para perempuan muda mungkin dapat mulai mengelola rasa sakit hati bila memahami ibu mungkin menyayangi, tetapi tidak tahu caranya. Mungkin dulu ia juga sangat dituntut jadi sosok ”obyek”. Hanya cakrawala demikianlah yang mengisi pemahaman sang ibu. Mungkin mereka yakin menjadi cantik dan memenuhi kebutuhan laki-laki itu sumber utama kebahagiaan perempuan, menjadi tegang dan sangat khawatir bila anaknya gagal memenuhi tuntutan peran demikian.
Bisa jadi sang ibu punya banyak luka batinnya sendiri, entah dengan ibunya pada masa lalu, atau dengan suaminya, yang berdampak pada kekacauan perasaan tentang diri sendiri. Lalu, kekacauan perasaan itu diproyeksikan ke anak perempuannya. Seperti cerita R:
”Mama hidup menderita dalam perkawinannya. Selalu berkorban dan mengalah dari papa, makanya, katanya, aku enggak boleh menentang kalau mama ngomong. Harus mendengarkan saja. Mama selalu bersumpah serapah tidak bakal mau lagi cerita sama aku kalau perlu putus hubungan aja deh. Tapi lagi-lagi, mama akan cerita lagi apa pun itu, mulai dari perilaku kasar papa, atau perilaku merongrong uang yang kerap dilakukan papa.” Lebih lanjut, ibunya juga harus bersabar menanggung komentar-komentar negatif saudara-saudara perempuan sang ayah, yang menilai sang ibu ”kurang berkelas”.
Mungkin rasa sakit hati juga akan berkurang bila paham bahwa yang dilakukan sang ibu tidak merefleksikan kekurangan atau hal-hal buruk mengenai diri anak, tetapi merefleksikan keterbatasan dan luka-luka batin sang ibu sendiri. Sementara itu, yang merindukan ibunya yang tak peduli, barangkali dapat mencari figur perempuan lain yang dapat menggantikan peran ibu memberikan bimbingan dan kesejukan.
Yang pasti, anak perempuan bukan barang dagangan, melainkan manusia sangat bernilai dalam keunikan masing-masing. Pada akhirnya, semoga para ibu dan calon ibu, serta para bapak dan calon bapak paham, bila ingin penerimaan yang positif dari anak, kasih sayang dan bimbingan harus ditampilkan dalam bahasa positif. Kalimat seperti: ”mama senang sekali lihat kamu pakai baju itu”; ”masih ada salah tiknya, sih, tetapi tulisan kamu bagus sekali” terasa menyejukkan dan pasti akan mengembangkan penerimaan diri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar